Rabu, 30 Agustus 2017

Ragam Motif Tenun Bima - Dompu

Dalam memilih simbol dan gambar untuk dijadikan motif tenunan, para penenun Bima tempo dulu berpedoman pada nilai dan norma adat yang Islami. Sebagai gambaran jati diri atau kepribadian Dou Mbojo yang taat pada ajaran agamanya. Mereka tidak boleh atau dilarang untuk memilih gambar manusia dan hewan guna dijadikan motif pada tenunannya.

Larangan itu mengacu pada Masa Kesultanan (1640-1950), dilatarbelakangi oleh kekhawatiran masyarakat akan kembali ke ajaran agama lama yang percaya bahwa pada gambar manusia dan hewan ada rokh dan kekuatan gaib yang harus disembah. Berdasarkan ketentuan adat, ragam hias yang boleh dijadikan motif adalah sebagai berikut:
A.BUNGA DAN TUMBUH-TUMBUHAN
1.Bunga Samobo (Bunga Sekuntum)
Merupakan simbol pengharapan masyarakat, agar para pemakai atau pengguna hasil tenunan memiliki akhlak mulia bagaikan sekuntum bunga beraroma semerbak bagi masyarakat.
2.Bunga Satako (Bunga Setangkai)
Sebagai cerminan kehidupan masyarakat yang sejuk damai laksana rangkaian bunga yang sepanjang waktu menbar aroma semerbak bagi lingkungannya.
Bunga Samobo dan Bunga Satako selalu menjadi motif pada setiap jenis tenunan Mbojo terutama pada Tembe Songke (Kain Songket), sambolo dan Weri.
3.Bunga Aruna (Bunga Nenas)
Bunga Aruna dengan 99 buah sisik mengandung makna 99 sifat Allah SWT, pencipta alam semesta yang selalu dipuji dan disembah oleh manusia sebagai hambaNya. Sesuai dengan kelemahan dan keterbatasannya, manusia wajib memahami 99 sifat Allah SWT.
Motif Bunga Aruna lebih dominan sebagai ragam hias bangunan untuk tempat tinggal seperti istana dan rumah.
4.Kakando (Rebung)
Motif Kakando (Rebung), memiliki makna kesabaran dan keuletan dalam menghadapi tantangan, seperti kakando yang mampu tumbuh di tengah-tengah rumpun induknya yang lebat.
B.GARIS DAN GEOMETRI
1.Gari (Garis)
Sikap tegas dalam melaksanakan tugas, sikap yang lazim dimiliki oleh masyarakat Maritim.
2.Geometri
Bentuk geometri yang diangkat menjadi motif tenunan cukup beragam:
Nggusu Tolu atau Pado Tolu (Segi Tiga)
Sudut lancip yang berada dipuncaknya, merupakan isyarat bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah SWT.
Nggusu Upa atau Pado Upa (Segi Empat)
Sikap hidup yang terbuka, berkomunikasi dengan kaum pendatang dari berbagai penjuru.
Pado Waji (Jajaran Genjang)
Kehidupan manusia berada dalam tiga tingkat, yang pertama berada diatas yang jumlahnya terbatas, dan diatas mereka adalah Allah Yang Maha Tinggi yang dilukiskan dengan sudut lancip. Tingkat kedua berada ditengah, jumlahnya lebih banyak. Dan yang ketiga tingkat bawah, hampir sama dengan golongan atas dan lebih sedikit dibanding golongan menengah.
Nggusu Waru (Segi Delapan)
Persyaratan ideal untuk menjadi seorang pemimpin harus memenuhi delapan syarat:
1.Macia Ima Ro Ma Taqwa (yang kuat imannya dan yang taqwa)
2.Mantau Ilmu Ro Ma Bae Ade (berilmu dan berpengalaman serta berwawasan).
3.Mambani Ro Disa (berani menegakkan yang haq dan membasmi yang bathil)
4.Malembo Ade Ro Mapaja Sara (sabar dan tenggang rasa)
5.Mandinga Nggahi Labo Rawi (segala sesatu yang diikrarkan harus dilaksanakan)
6.Mataho Hidi Ro Tohona (yang gagah dhahir dan bathin)
7.Londo Ro Mai Dou Mataho (berasal dari keturunan yang baik)
8.Mataho Mori Ra Wokona (memiliki kekayaan lahir dan bathin)
Pada Akhir – akhir ini, para penenun sering mengadopsi motif dari luar tanpa mengacu pada nilai , norma agama dan adat yang Islami. Kita boleh mengadopsi motif luar, selama tidak bertentangan dengan nilai dan norma agama serta adat yang dijunjung tinggi.
Sumber : http://www.kompasiana.com/alanmalingi/filosofi-dalam-ragam-motif-tenun-bima-dompu_54f7d1eda333112a608b45c8
Photo by : Mantikaen https://scontent-sjc2-1.cdninstagram.com/t51.2885-15/s320x320/e35/19984336_1443765632338723_3231901738495639552_n.jpg

Jumat, 25 Agustus 2017

Filosofi Rimpu (Mbojo)


Bima merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna.

Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.

Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.

Menurut sejarawan Bima, M. Hilir Ismail, keberadaan rimpu juga tak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan Nuruddin) untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun Bima yang sudah lama dikenal bahkan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laris sekitar abad 13 lampau. Sebab, pada masa itu, dou mbojo memanfaatkan melimpahnya tanaman kapas untuk dijadikan kain tenun yang menjadi komoditi perdagangan yang terjual hingga ke negeri Cina. Sejak saat itu, semua wanita yang sudah akil baliq diwajibkan memakai rimpu apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan keluarganya untuk sesuatu urusan. Kalau tidak, berarti sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat itu. “Hukumannya lebih kepada hukuman moral. Orang yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu”, ujarnya.

Keterangan Hilir diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. “Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri,” paparnya. Menurutnya, memakai rimpu pada masa itu semacam show (pertunjukan). “Ini loh kain hasil tenun saya. Saya sudah bisa menenun,” contohnya.

Keeratan hubungan rimpu dengan perkembangan islam pada masa itu tampak jelas. Dari keterangan pelaku sejarah, wanita Bima yang hidup pada masa itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib. Siapapun lelaki baik sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya. “Dengan tersingkapnya betis saja, wanita zaman dulu sudah merasa malu dan segera minta nikah. Mereka menganggap itu sebagai bentuk pelecehan (aib) terhadap wanita,” paparnya.
Rimpu merupakan busana yang terbuat dari dua lembar sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh. Satu lembar untuk mernutup kepala, satu lembar lagi sebagai pengganti rok. Sesuai penggunaannya, rimpu bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi gadis, memakai rimpu mpida—yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja dengan penggunaan cadar pada kaum wanita muslim. Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah kepala dan muka kemudian menyisakan ruang terbuka pada bagian mata. Sedangkan bagi kaum wanita yang telah bersuami memakai rimpu colo. Dimana bagian muka semua terbuka. Caranya pun hampir sama. Sedangkan untuk membuat rok, sarung yang ada cukup dililitkan pada bagian perut dan membentuknya seperti rok dan kemudian mentangkupkan pada bagian kanan dan kiri pinggang.

Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis dengan yang telah bersuami, secara tidak langsung menjelaskan pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita pada zaman itu. Bagi kaum pria terutama yang masih lajang, melihat mereka yang mengenakan rimpu mpida merupakan pertanda baik. Apalagi, jika pria lajang tersebut sudah berkeinginan untuk segera berumah tangga. Dengan sendirinya, pria-pria lajang akan mencari tau keberadaan gadis incarannya dari sarung yang dikenakannya.

Seiring perkembangan zaman, keberadaan rimpu hampir terlupakan. Malah, beberapa tahun terakhir, sebagian besar masyarakat Bima yang beragama Islam beralih mengenakan jilbab dengan trend mode yang bermunculan. Parahnya, generasi-generasi sekarang sudah banyak yang tak mengenal rimpu. Kalaupun ada, mereka tak mengerti cara penggunaannya. Wanita Bima masa kini menganggap orang yang mengenakan rimpu sebagai wanita kolot dan kampungan. 
Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo, Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima.

Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan sudah sepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah Bima seharusnya mulai memikirkan upaya teresbut, paling tidak sebuah kebijakan pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima.

Sumber : http://mbojonet.blogspot.co.id/2012/05/budaya-rimpu-budaya-islami-dou-mbojo.html

Kamis, 24 Agustus 2017

MENGENAL PAKAIAN ADAT BIMA - DOMPU



Salah satu peralatan dan perlengkapan hidup yang sangat diperhatikan oleh masyrakat Bima adalah “kani ro lombo” (pakaian). Pengadaan pakaian harus berpedoman pada adat shahih (adat yang baik). Cara berpakaian, warna, bentuk serta jenisnya tidak boleh bertentangan dengan nilai dan hormat adat Bagi Masyarakat Bima pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat. Fungsi utamanya adalah untuk menutup aurat, memilihara kesehatan, sebagai symbol status sosial dan untuk menambah kewibawaan bagi si pemakai.
Tata cara berpakaian, bentuk serta warna dan seni aksesorisnya harus sesuai dengan etika dan estetika masyarakat . Pakaian harus harus diperoleh dengan cara halal,  bukan dengan cara yang dilarang oleh agama atau yang haram. Pakaian yang memenuhi persyaratan seperrti itulah yang dinilai “kani ro lombo ma ntika raso” (pakaian yang indah dan bersih) oleh masyarakat.
Bentuk dan warna pakaian beserta kelengkapannya mengundang nilai luhur lagi mulia, harus mampu disosialisasikan oleh si pemakaianya. Karena menurut norma adat antara pakaian dan si pemakai harus sesuai dengan bunyi ungkapan “raso ro ntika si kani ro lombomu, karaso ro ntikapu ade ro itikamu”, secara singkat makna dari ungkapan itu adalah “kalau anda memakai pakaian yang indah dan bersih, maka anda harus pula membersihkan nurani dan itikadmu”.
Seperti pada masyarakat suku – suku lain, masyarakat Bima mengenal bermacam – macam jenis pakaian adat, yaitu sebagai berikut :
1). Pakain adat harian, dipakai ketika menghadiri upacara adat dan upacara peringatan hari – hari besar kesultanan dan hari – hari besar agama.
2). Pakaian adat untuk upacaar daur hidup mulai dari upacara salama loko sampai dengan upacara pernikahan dan kematian.
3). Pakaian adat utuk penari.
4). Pakaian untuk pejabat majelis hadat.
5. Rimpu
Disamping mengenakan rimpu, wanita Bima juga mengenal beberapa jenis pakaian,perhiasan dan cara berbusana harian yang telah lama dikenakan turun temurun sejak berabad-abad lamanya. Cara berpakaian tersebut juga berkaitan dengan Tata rambut dan penggunaan Aksesoriesnya. Berikut adalah pakaian adat harian perempuan Bima pada masa lalu.
Pakaian Baju Bodo atau Baju Poro, baju berlengan pendek pengaruh dari makasar, terdiri dari :
  • Baju poro, bewarna merah untuk para gadis, bewarna hitam (me’e) ungu (keta) bagi para kaum ibu, warna kuning dan hijau hanya untuk para keluarga sultan. Di ujung lengan baju di pasang “satampa baju”, berfungsi sebagai penutup lengan dan juga sebagai asesoris.
  • Tembe su’i atau tembe songke (sarung songket), warna dasar merah atau coklat dan boleh juga hitam. Dengan motif garis – garis kecil, kakando dan pado waji, dihiasi dengan sulaman benang emas dan perak. Boleh juga memakai “tembe bali mpida” (sarung bermotif nggusu upa segi empat dengan ukuran kecil).
  • Giwa Mpida dan Karabu To’i
Giwa (giwang) ukuran kecil, dan boleh juga memakai karabuto’I atau karabu ukuran kecil (karabu jenis giwang berbentuk bunga samobo).
Menurut adat kaum ibu termasuk gadis,  tidak dibenarkan memakai perhiasan dari emas atau perak yang berlebih – lebihan, walau permaisuri dan putri sultan sekalipun. Sebagai seorang  ibu harus berpenampilan sederhana, tidak boleh memamerkan kekayaan dan dilarang untuk memakai gelang kalung dari emas atau perak.
  • Samu’u Cangga (Sanggul Khas Bima), pada sanggul dipasang tiga tangkai bunga  jampaka (cempaka) berwarna kuning symbol kejayaan kaum ibu.